Adakah perbedaan pengertian “jangan pernah merasa cukup” pada kedua pengertian di atas? Ya...... memang nyata ada bedanya dan inilah yang saat ini layak direnungkan.
“Jangan pernah merasa cukup” yang pertama dipakai untuk mendorong suatu aktifitas yang bermanfaat baik bagi diri sendiri, sesama manusia, bahkan juga lingkungan. Kata-kata yang serupa diatas dapat disebutkan sebagai, jangan lelah beribadah, jangan puas berbuat baik, jangan menyerah dalam menolong sesama, dan sebutan lain sejenisnya. Makna kata ini mungkin seirama dengan lantunan lagu ciptaan D' Masiv - Jangan Menyerah itu
Pengertian “jangan pernah merasa cukup” yang kedua adalah keliru karena berkonotasi suatu aktifitas yang tidak baik. Cepat atau lambat perilaku itu ternyata akan merugikan bagi semua pihak, dirinya, keluarganya, sesama dan lingkungannya. Semangat dari kata itu tercermin pada latar belakang contoh tentang pembalakan hutan di atas tadi, jangan puas dengan menebang pohon di hutan mumpung masih bisa – meski derita banjir dan longsor jadi akibatnya.
Nah............... inilah kemudian anehnya sifat manusia. Ketika ia didorong untuk berbuat kebaikan maka yang diperbuatnya malah segera menjadi puas dan segera selesai, sebaliknya jika ia diperingatkan untuk segera berhenti dan merasakan cukup ia justru semakin serakah ingin melakukannya berlebih. Diminta untuk terus berbuat baik, belajar dan bekerja – ia malah mogok, tapi diingatkan untuk tidak merusak lingkungan dan perilaku sejenisnya – ia malah semakin bersemangat melakukannya. Bahkan ia berdalih pembenaran tindakannya dengan berlindung pada ucapan luhur “jangan pernah berpuas diri” itu.
Sebenarnya, adakah rasa cukup itu?
Ya....... kalau kita bijak menyadari bersama, tentu saja ada batas rasa cukup itu. Tubuh manusia sebagai karya mulia Sang Pencipta, sesungguhnya juga mempunyai alarm untuk membuktikan bahwa rasa cukup itu sesungguhnya ada. Misalnya, mengingat bahwa makan yang berlebihan akan sangat berbahaya, maka tubuh akan memberikan peringatan “cukup dan berhentilah makan” dengan menampilkan rasa kenyang. Demikian juga karena tidur berlebihan itu tidak baik, maka tubuhpun memiliki alarm yang berkata “ayo bangun”. Memang kedua contoh alarm peringatan itu dapat saja menjadi mati tidak berfungsi seperti rem yang blong – jika orang tersebut sakit, khususnya sakit jiwa.
Adakalanya kita memang harus bersikap pantang berkata cukup, namun ada waktunya juga dengan bijak kita seharusnya berkata “enough is enough”. Suatu kata bijak yang layak direnungkan pernah disampaikan oleh mendiang Mahatma Gandhi katanya, “Dunia dan seisinya ini sesungguhnya cukup untuk memberi makan seluruh umat manusia penghuninya, tapi tidak akan pernah cukup untuk memberi makan beberapa orang saja yang serakah”.
Bukankah kita tidak ingin disebut berperilaku sakit jiwa dengan mengabaikan alarm hati nurani pemberianNYA?
Sumber gambar: www.mapala.net/archives/514
