Senin, 22 Februari 2010

KEBAHAGIAAN


Setelah berjalan sekian lama hidup berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara – sering kita dihadapkan pada suatu tuntutan dan cemoohan bahwa “Engkau ternyata tidak membahagiakan saya”. Tampaknya ada yang menarik untuk direnungkan, ketika kita mencari dan mengejar kebahagiaan itu. Berikut ini adalah renungan yang disadur dari Buku Renungan Manna Sorgawi Edisi Senin, 22 Februari 2010. Mungkinkah ini dapat menjelaskan ujung pencarian bahagia itu?

Suatu ketika, Margaret istri John Maxwell diundang untuk membawakan seminar dengan topik “Kebahagiaan”. Seperti biasanya, ketika istrinya membawakan seminar maka John akan duduk di bangku paling depan untuk mendengarkan seminar yang dibawakan istrinya itu. Sebaliknya, jika John Maxwell membawakan seminar, maka istrinya akan duduk di depan untuk mendengarkan.

Setelah Margaret selesai membawakan seminar, semua hadirin bertepuk tangan. Sesudah itu mereka masuk ke sesi tanya jawab. Banyak pertanyaan yang dilontarkan, tetapi ada salah satu pertanyaan yang cukup menarik dan mengundang rasa ingin tahu mengenai jawaban yang akan diberikan oleh Margaret. Pertanyaan tersebut datang dari seorang ibu yang isinya, “Ibu Margaret, apakah suami anda membuat anda bahagia?”. Seisi ruangan terdiam menanti jawaban.

Setelah berpikir beberapa saat Margaret menjawab, “Tidak…!” Semua yang hadir kaget mendengar jawabannya. Sekali lagi Margaret menjawab, “Tidak… John Maxwell tidak membuatku bahagia”, Semua hadirin memandang ke arah John Maxwell, sementtara John menjadi salah tingkah. Kemudian Margaret melanjutkan, “John Maxwell adalah suami yang sangat baik. Ia setia, selalu memenuhi kebutuhan saya baik jasmani maupun rohani. Ia tidak pernah berjjudi, mabuk-mabukan tapi dia tetap tidak bisa membuat saya bahagia”.
Seorang pesserta kemudian bertanya, “Mengapa…?”, “Karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaan saya, kecuali diri saya sendiri, jawabnya.

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Margaret bahwa masing-masing orang bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya sendiri, bukan orang lain, bukan pula oleh keadaan. Kita memang tidak terlepas dari keadaan yang sulit dan orang-orang yang sengaja menyakkiti hati kita, tetapi semua itu tidak dapat merampas kebahagiaan kita – selama kita tidak mengizinkan kondisi yang tidak enak irtu memengaruhi hidup kita.

Ketika usia semakin bertambah dan keterbatasan fisik itu menjadi keniscayaan, maka dapatkah kita mencerminkan sikap seorang nenek yang dengan sabar menunggui sang kakek terbaring seperti foto pada halaman ini?

Benarkah nenek yang bertahan itu karena kebahagiaan yang diperoleh dari kakek, ataukah sang nenek yang memaknainya sendiri?

Sabtu, 13 Februari 2010

Juara Paduan Suara



Hari ini saya berbahagia, karena Tim Paduan Suara SD Santo Michael yang saya pimpin telah memenangi Lomba Paduan Suara.

Menjadi Juara I adalah suatu kebanggaan, yang tidak mudah terlupakan. Ada semangat untuk menjadi pemimpin yang lebih baik, ada dorongan untuk belajar lebih keras.

Terima kasih Sr. Yohana, terima kasih Bu Maria, terima kasih teman-teman dan semua yang telah melahirkan rasa bangga ini.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Adakah Batas Rasa “Cukup” Itu?

Ada suatu fenomena di masyarakat yang seolah ingin menyatakan bahwa hidup adalah perjuangan dan dalam perjuangan itu pantang ada kata “cukup”. Kata itu lebih berkonotasikan kekalahan, penyerahdirian terhadap suatu keadaan. “Raihlah cita-citamu setinggi bintang dilangit, carilah ilmu sampai ke negeri seberang bahkan sampai ajal menjelang”, adalah ungkapan yang disampaikan oleh para sesepuh dan pendahulu kita. Anak-anak kita tidak boleh loyo untuk belajar agar kelak jika sudah bekerja pun tidak lemah dan menjadi pribadi pantang menyerah. Lalu benarkah kita harus berupaya sekuat tenaga, pada setiap peluang kesempatan untuk pantang berkata cukup? Ambil sebanyak kita mampu melakukan karena kata “cukup” menunjukkan pribadi loyo kurang kreatif dan hanya milik orang yang lemah. Benarkah demikian maknanya? Bagaimana dengan keadaan berikut ini?

Sudah berulang kali diberitakan di media massa tentang penyalahgunaan HPH yang mengakibatkan kerugian negara dan bencana bagi masyarakat. Beberapa tahun yang lalu terdengar lagi berita bahwa Kepolisian Riau baru saja (?) menemukan jajaran tumpukan batang kayu sepanjang 7 Km atau sekitar 1.000.000 meter kubik di tengah hutan. Kerugian finansial negara diperkirakan sekitar Rp. 1 trilyun, dan belum diperhitungkan kerugian immaterial dan risk cost bahaya potensial yang terjadi seperti banjir dan tanah longsor. Apakah kondisi ini boleh disepadankan melaksanakan semangat jangan mudah puas selagi ada kesempatan itu? Bukankah pemilik usaha penebangan kayu itu juga pantang menyerah dan tidak loyo mengeruk kekayaan bumi yang peluangnya ada dihadapan mata?

Adakah perbedaan pengertian “jangan pernah merasa cukup” pada kedua pengertian di atas? Ya...... memang nyata ada bedanya dan inilah yang saat ini layak direnungkan.

“Jangan pernah merasa cukup” yang pertama dipakai untuk mendorong suatu aktifitas yang bermanfaat baik bagi diri sendiri, sesama manusia, bahkan juga lingkungan. Kata-kata yang serupa diatas dapat disebutkan sebagai, jangan lelah beribadah, jangan puas berbuat baik, jangan menyerah dalam menolong sesama, dan sebutan lain sejenisnya. Makna kata ini mungkin seirama dengan lantunan lagu ciptaan D' Masiv - Jangan Menyerah itu

Pengertian “jangan pernah merasa cukup” yang kedua adalah keliru karena berkonotasi suatu aktifitas yang tidak baik. Cepat atau lambat perilaku itu ternyata akan merugikan bagi semua pihak, dirinya, keluarganya, sesama dan lingkungannya. Semangat dari kata itu tercermin pada latar belakang contoh tentang pembalakan hutan di atas tadi, jangan puas dengan menebang pohon di hutan mumpung masih bisa – meski derita banjir dan longsor jadi akibatnya.

Nah............... inilah kemudian anehnya sifat manusia. Ketika ia didorong untuk berbuat kebaikan maka yang diperbuatnya malah segera menjadi puas dan segera selesai, sebaliknya jika ia diperingatkan untuk segera berhenti dan merasakan cukup ia justru semakin serakah ingin melakukannya berlebih. Diminta untuk terus berbuat baik, belajar dan bekerja – ia malah mogok, tapi diingatkan untuk tidak merusak lingkungan dan perilaku sejenisnya – ia malah semakin bersemangat melakukannya. Bahkan ia berdalih pembenaran tindakannya dengan berlindung pada ucapan luhur “jangan pernah berpuas diri” itu.

Sebenarnya, adakah rasa cukup itu?

Ya....... kalau kita bijak menyadari bersama, tentu saja ada batas rasa cukup itu. Tubuh manusia sebagai karya mulia Sang Pencipta, sesungguhnya juga mempunyai alarm untuk membuktikan bahwa rasa cukup itu sesungguhnya ada. Misalnya, mengingat bahwa makan yang berlebihan akan sangat berbahaya, maka tubuh akan memberikan peringatan “cukup dan berhentilah makan” dengan menampilkan rasa kenyang. Demikian juga karena tidur berlebihan itu tidak baik, maka tubuhpun memiliki alarm yang berkata “ayo bangun”. Memang kedua contoh alarm peringatan itu dapat saja menjadi mati tidak berfungsi seperti rem yang blong – jika orang tersebut sakit, khususnya sakit jiwa.

Adakalanya kita memang harus bersikap pantang berkata cukup, namun ada waktunya juga dengan bijak kita seharusnya berkata “enough is enough”. Suatu kata bijak yang layak direnungkan pernah disampaikan oleh mendiang Mahatma Gandhi katanya, “Dunia dan seisinya ini sesungguhnya cukup untuk memberi makan seluruh umat manusia penghuninya, tapi tidak akan pernah cukup untuk memberi makan beberapa orang saja yang serakah”.

Bukankah kita tidak ingin disebut berperilaku sakit jiwa dengan mengabaikan alarm hati nurani pemberianNYA?

Sumber gambar: www.mapala.net/archives/514

Rabu, 30 September 2009

Kita Ternyata (ada yang) Senang “Nglalu”

Tidak banyak – atau dapatlah dikatakan tidak ada – orang yang suka dan mencari mati. Jika ada orang yang dalam hidupnya nyata-nyata bersikap menuju kematian maka boleh jadi ia dikategorikan aneh, ungkapan yang sedikit lebih sopan daripada kata gila. Kehidupan adalah merupakan kebutuhan manusia, maka sikap bijaknya adalah setiap orang seharusnya menghargai kehidupan. Namun benarkah pada dasarnya saat ini kita mencintai kehidupan?

Di dalam kosa kata Bahasa Jawa ada istilah Nglalu – yaitu perilaku seseorang yang mencerminkan sikap tidak perduli pada kehidupan(nya). Ia membiarkan, menilai, bahkan mengembangkan segala sesuatu perilaku kehidupannya dalam konteks kematian. Mati untuk dirinya, dan mungkin juga mati untuk orang lain, untuk masa kini dan masa depan. Dalam kosa kata ilmu jiwa Bahasa Indonesia mungkin kata itu dapat disepadankan dengan pengertian Fatalisme, suatu isme yang berorientasi kematian.

Apa yang kita pikirkan dari perilaku anak remaja (juga kita?) yang ngebut di jalan raya, tanpa helm pengaman, dan meliuk-liuk di jalanan? Mungkin jawaban mereka atas nasehat yang baik adalah, “Anda jangan terlalu cerewet, orang jika sudah saatnya biar sedang tidur juga bisa mati”. Bagaimana juga dengan perilaku mereka yang katanya terpelajar tapi membuang sampah sembarangan dari mobilnya? “Ah... yang lain juga melakukan hal yang sama, kok”. Jika dikembangkan terus penelaahan perilaku seperti itu, maka jelas terjawab pertanyaan mengapa terjadi hutan yang gundul, banjir, hutang negara semakin besar – terjawab pula pertanyaan mengapa Negara Indonesia tidak kunjung bangkit dari keterpurukan? Banyak diantara kita ternyata penganut fatalisme.

Berpikir ingin mati dan tindakan bunuh diri jelas didasari oleh fatalisme, namun keengganan berpikir juga merupakan bentuk fatalisme. Fatalisme erat kaitannya dengan rasa putus asa dan tidak berdaya. Secara sederhana fatalisme dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia tidak mampu mengubah apa yang telah terjadi atau tergariskan. Cikal bakal fatalisme sudah terasa bila kepekaan, kepedulian, dan rasa ikut bertanggung jawab sudah tidak ada lagi.

Jika kita bersepakat bahwa kodrat manusia adalah makhluk yang mencintai kehidupan, lalu mengapa ternyata banyak orang “berpenyakit” fatalisme?

Harus diakui bahwa perilaku ini antara lain ditimbulkan oleh rasa frustasi oleh tekanan keadaan di sekeliling. Hilangnya rasa saling menghormati dan trust pada orang lain, lenyapnya idealisme tokoh-tokoh anutan, gencarnya informasi yang menggambarkan pengotak-kotakan kelompok – dan hal sejenisnya – menimbulkan kekecewaan dan frustasi itu. “Saya lemah dan tidak berdaya melawan arus zaman. Kalau memang itu tuntutannya, mengapa saya juga tidak ikut dengan cara hidup itu?” Nah...... semangat yang sempat lesu karena frustasi, tiba-tiba dapat bangkit lagi – tapi terjebak dalam konsep fatalisme itu tadi.

Lho...... apakah teori ini cocok dengan kondisi tempat kita berada saat ini?

Jawabannya tersirat dalam sanubari setiap kita. Apakah kita masih perduli dengan “kehidupan” atau kita adalah para pelaku “kematian” di planet ini. Bagaimana perilaku keluarga kita, perilaku teman sekerja dan masyarakat kita, juga yang terpenting.... bagaimana perilaku kita sendiri?

Apakah kita juga dapat bangkit menjadi sosok yang tetap berpikir jernih, mencintai kehidupan dan tetap memiliki nilai keindahannya? Ataukah kita justru “bangkit” untuk ikut merusak kehidupan dengan menjadi penganut fatalisme yang senang nglalu?

Senin, 28 September 2009

Untukmu.......... Pak Harto

Akhirnya ujung jalan kehidupan kau jumpai juga,
Suatu kesadaran bahwa inilah akhir sekaligus awal,
Engkau telah lepas dari letih beban kehidupan,

Perjalanan baru saat ini harus kau tempuh,
Inilah takdir yang tak mungkin terelakkan

Sosokmu pernah ada,
tak seorangpun dapat memungkirinya,
Kehidupanmu adalah sejarah,
tak mungkin seorangpun mengulanginya,
Siapa dan bagaimana dirimu,
hanya Sang Khalik itulah yang dapat menjawabnya


Ketika engkau pergi.........
ada beribu nilai yang terungkap
bahkan kamipun gamang menilaimu,
haruskah kami memujamu, ataukah ikut mereka yang menghujatmu?
tak ada komentar diantara kami, seolah menunggu
siapa yang dipihakmu siapa pula musuhmu


Sesungguhnya misteri kehidupanmu itu milikmu sendiri
hanya engkau yang tahu
hanya engkau yang berdiri di HadapanNYA
hanya engkau sendiri yang menjawab TanyaNYA
Biarlah kami yang kau tinggal mendapat hikmatnya
untuk memutuskan layakkah kami menilai
karena kami juga yang kelak akan
menjawab misteri kehidupan kami sendiri


Jika diantara kami ada yang ikhlas mendoakanmu,
adalah karena kami sadar bahwa hanya inilah yang dapat kami lakukan
dan berharap sahabat kamipun kelak melakukannya
Jika diantara kami ada yang tidak mengantarmu dalam doa,
adalah karena kami sering lupa bahwa ujung jalan hidup itu ada,
dan yang melapangkan adalah ampunan juga


Selamat jalan, pak
(dari kami..... yang bahkan tidak engkau kenal)

Cilacap, ketika Pak Harto pergi

Sumber gambar: www.lautanindonesia.com

Pastor Thomas dan Burung

Suatu masa, ada seorang pria bernama George Thomas, seorang pastor di sebuah kota kecil di New England. Pada suatu Minggu pagi hari Paskah, ia tiba di gereja dengan membawa sangkar burung yg sudah karatan dan penyok-penyok, dan meletakannya di altar. Orang-orang pada keheranan dan, seolah-olah menangkap rasa penasaran orang-orang, Pastor Thomas mulai bicara....

Saya sedang berjalan-jalan sekeliling kota kemarin dan melihat seorang anak laki-laki berjalan mendekati saya sambil mengayun-ayunkan sangkar burung ini. Di dasar sangkar ada tiga burung kecil dan liar, menggigil karena kedinginan dan ketakutan. Saya stop anak laki-laki itu dan saya tanyakan, "Ada apa di sangkar itu, nak ?"
"Hanya beberapa burung biasa" jawabnya.
"Apa yg akan kau lakukan pada mereka ?" tanya saya.
"Bawa pulang ke rumah dan menggoda mereka," jawabnya. "Saya akan menggoda mereka dan mencabuti bulu-bulu mereka supaya mereka saling berkelahi. Saya pasti akan menikmati saat itu."

"Tapi kamu nanti akan jadi bosan dengan burung-burung itu cepat atau lambat. Lantas apa yang akan kamu kerjakan ?"
"Oh, saya kan punya beberapa kucing," kata anak laki-laki itu. "Mereka senang burung. Saya akan berikan burung-burung ini pada kucing-kucing itu"

Pastor Thomas terdiam untuk beberapa saat.
"Berapa yang kamu inginkan untuk burung-burung itu, nak ?"
"Huh? Mengapa, Anda tidak mungkin menginginkan burung-burung ini kan, Pak. Mereka hanyalah burung biasa. Mereka tidak bisa bersiul merdu. Mereka bahkan tidak menarik !"

"Berapa ?" Tanya pastor lagi.
Si anak laki-laki itu mengukur kemampuan si pastor dan menilai si pastur mungkin gila, dan menjawab, "$10?"
Pastor mengambil dari kantungnya dan mengeluarkan selembar uang kertas sepuluh dollar. Ia taruh di tangan anak laki-laki itu ! Dalam sekejap, anak laki-laki itu pun menghilang. Si pastor memungut sangkar tersebut dan dengan lembut membawanya ke ujung gang dimana ada sebuah pohon dan tempat yang berumput. Sambil meletakkan sangkar itu, ia membuka pintunya, dan dengan mengetuk jeruji sangkar pelan-pelan membujuk burung-burung itu keluar.

Dan, itu tadi menjelaskan mengapa sangkar burung yang kosong ini di atas altar ini, lalu Pastor Thomas mulai menceritakan cerita ini.

Suatu hari Iblis dan TUHAN sedang bercakap-cakap. Iblis baru saja datang dari Taman Firdaus, dan ia nampak rakus dan sedang membual. "Ya, tuan, saya baru saja melihat dunia penuh dengan orang-orang di bawah sana. Saya pasang perangkap, gunakan umpan yang saya tahu pasti mereka tak akan bisa menolak. Kenalah mereka semua !"
"Apa yg akan kau lakukan terhadap mereka ?" tanya TUHAN.
Iblis menjawab, "Oh, saya akan bersenang-senang! Saya akan ajarkan mereka bagaimana kawin dan cerai, bagaimana saling membenci dan menganiaya satu sama lain, bagaimana saling minum-minum dan merokok dan menghujat. Saya akan ajarkan mereka bagaimana membuat senjata dan bom dan saling membunuh satu sama lain. Saya akan benar-benar senang!"

"Dan apa yang akan kau lakukan terhadap mereka setelah engkau selesai dengan itu semua ?" tanya TUHAN.
"Oh, saya akan bunuh mereka," Iblis menatap dengan bangga.
"Berapa yang kau inginkan untuk mereka ?" tanya TUHAN.
"Oh, kau tidak mungkin menginginkan orang-orang itu. Mereka tidaklah baik. Mengapa, kau ambil mereka dan mereka hanya akan membencimu. Mereka akan meludahimu, menghujatmu dan membunuhmu. Kau tidak mau orang-orang ini!"

"Berapa.... ? TUHAN bertanya lagi.
Iblis menatap TUHAN dan menyeringai, "Semua darah, airmata, dan jiwamu."

TUHAN berkata, "Baiklah... !" Lalu Ia membayar harganya, dengan darah, airmata dan jiwaNYA

Pastor memungut sangkar tersebut. Ia membuka pintunya dan ia melangkah turun dari mimbar.