Rabu, 30 September 2009

Kita Ternyata (ada yang) Senang “Nglalu”

Tidak banyak – atau dapatlah dikatakan tidak ada – orang yang suka dan mencari mati. Jika ada orang yang dalam hidupnya nyata-nyata bersikap menuju kematian maka boleh jadi ia dikategorikan aneh, ungkapan yang sedikit lebih sopan daripada kata gila. Kehidupan adalah merupakan kebutuhan manusia, maka sikap bijaknya adalah setiap orang seharusnya menghargai kehidupan. Namun benarkah pada dasarnya saat ini kita mencintai kehidupan?

Di dalam kosa kata Bahasa Jawa ada istilah Nglalu – yaitu perilaku seseorang yang mencerminkan sikap tidak perduli pada kehidupan(nya). Ia membiarkan, menilai, bahkan mengembangkan segala sesuatu perilaku kehidupannya dalam konteks kematian. Mati untuk dirinya, dan mungkin juga mati untuk orang lain, untuk masa kini dan masa depan. Dalam kosa kata ilmu jiwa Bahasa Indonesia mungkin kata itu dapat disepadankan dengan pengertian Fatalisme, suatu isme yang berorientasi kematian.

Apa yang kita pikirkan dari perilaku anak remaja (juga kita?) yang ngebut di jalan raya, tanpa helm pengaman, dan meliuk-liuk di jalanan? Mungkin jawaban mereka atas nasehat yang baik adalah, “Anda jangan terlalu cerewet, orang jika sudah saatnya biar sedang tidur juga bisa mati”. Bagaimana juga dengan perilaku mereka yang katanya terpelajar tapi membuang sampah sembarangan dari mobilnya? “Ah... yang lain juga melakukan hal yang sama, kok”. Jika dikembangkan terus penelaahan perilaku seperti itu, maka jelas terjawab pertanyaan mengapa terjadi hutan yang gundul, banjir, hutang negara semakin besar – terjawab pula pertanyaan mengapa Negara Indonesia tidak kunjung bangkit dari keterpurukan? Banyak diantara kita ternyata penganut fatalisme.

Berpikir ingin mati dan tindakan bunuh diri jelas didasari oleh fatalisme, namun keengganan berpikir juga merupakan bentuk fatalisme. Fatalisme erat kaitannya dengan rasa putus asa dan tidak berdaya. Secara sederhana fatalisme dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia tidak mampu mengubah apa yang telah terjadi atau tergariskan. Cikal bakal fatalisme sudah terasa bila kepekaan, kepedulian, dan rasa ikut bertanggung jawab sudah tidak ada lagi.

Jika kita bersepakat bahwa kodrat manusia adalah makhluk yang mencintai kehidupan, lalu mengapa ternyata banyak orang “berpenyakit” fatalisme?

Harus diakui bahwa perilaku ini antara lain ditimbulkan oleh rasa frustasi oleh tekanan keadaan di sekeliling. Hilangnya rasa saling menghormati dan trust pada orang lain, lenyapnya idealisme tokoh-tokoh anutan, gencarnya informasi yang menggambarkan pengotak-kotakan kelompok – dan hal sejenisnya – menimbulkan kekecewaan dan frustasi itu. “Saya lemah dan tidak berdaya melawan arus zaman. Kalau memang itu tuntutannya, mengapa saya juga tidak ikut dengan cara hidup itu?” Nah...... semangat yang sempat lesu karena frustasi, tiba-tiba dapat bangkit lagi – tapi terjebak dalam konsep fatalisme itu tadi.

Lho...... apakah teori ini cocok dengan kondisi tempat kita berada saat ini?

Jawabannya tersirat dalam sanubari setiap kita. Apakah kita masih perduli dengan “kehidupan” atau kita adalah para pelaku “kematian” di planet ini. Bagaimana perilaku keluarga kita, perilaku teman sekerja dan masyarakat kita, juga yang terpenting.... bagaimana perilaku kita sendiri?

Apakah kita juga dapat bangkit menjadi sosok yang tetap berpikir jernih, mencintai kehidupan dan tetap memiliki nilai keindahannya? Ataukah kita justru “bangkit” untuk ikut merusak kehidupan dengan menjadi penganut fatalisme yang senang nglalu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar