Sabtu, 03 Oktober 2009

Adakah Batas Rasa “Cukup” Itu?

Ada suatu fenomena di masyarakat yang seolah ingin menyatakan bahwa hidup adalah perjuangan dan dalam perjuangan itu pantang ada kata “cukup”. Kata itu lebih berkonotasikan kekalahan, penyerahdirian terhadap suatu keadaan. “Raihlah cita-citamu setinggi bintang dilangit, carilah ilmu sampai ke negeri seberang bahkan sampai ajal menjelang”, adalah ungkapan yang disampaikan oleh para sesepuh dan pendahulu kita. Anak-anak kita tidak boleh loyo untuk belajar agar kelak jika sudah bekerja pun tidak lemah dan menjadi pribadi pantang menyerah. Lalu benarkah kita harus berupaya sekuat tenaga, pada setiap peluang kesempatan untuk pantang berkata cukup? Ambil sebanyak kita mampu melakukan karena kata “cukup” menunjukkan pribadi loyo kurang kreatif dan hanya milik orang yang lemah. Benarkah demikian maknanya? Bagaimana dengan keadaan berikut ini?

Sudah berulang kali diberitakan di media massa tentang penyalahgunaan HPH yang mengakibatkan kerugian negara dan bencana bagi masyarakat. Beberapa tahun yang lalu terdengar lagi berita bahwa Kepolisian Riau baru saja (?) menemukan jajaran tumpukan batang kayu sepanjang 7 Km atau sekitar 1.000.000 meter kubik di tengah hutan. Kerugian finansial negara diperkirakan sekitar Rp. 1 trilyun, dan belum diperhitungkan kerugian immaterial dan risk cost bahaya potensial yang terjadi seperti banjir dan tanah longsor. Apakah kondisi ini boleh disepadankan melaksanakan semangat jangan mudah puas selagi ada kesempatan itu? Bukankah pemilik usaha penebangan kayu itu juga pantang menyerah dan tidak loyo mengeruk kekayaan bumi yang peluangnya ada dihadapan mata?

Adakah perbedaan pengertian “jangan pernah merasa cukup” pada kedua pengertian di atas? Ya...... memang nyata ada bedanya dan inilah yang saat ini layak direnungkan.

“Jangan pernah merasa cukup” yang pertama dipakai untuk mendorong suatu aktifitas yang bermanfaat baik bagi diri sendiri, sesama manusia, bahkan juga lingkungan. Kata-kata yang serupa diatas dapat disebutkan sebagai, jangan lelah beribadah, jangan puas berbuat baik, jangan menyerah dalam menolong sesama, dan sebutan lain sejenisnya. Makna kata ini mungkin seirama dengan lantunan lagu ciptaan D' Masiv - Jangan Menyerah itu

Pengertian “jangan pernah merasa cukup” yang kedua adalah keliru karena berkonotasi suatu aktifitas yang tidak baik. Cepat atau lambat perilaku itu ternyata akan merugikan bagi semua pihak, dirinya, keluarganya, sesama dan lingkungannya. Semangat dari kata itu tercermin pada latar belakang contoh tentang pembalakan hutan di atas tadi, jangan puas dengan menebang pohon di hutan mumpung masih bisa – meski derita banjir dan longsor jadi akibatnya.

Nah............... inilah kemudian anehnya sifat manusia. Ketika ia didorong untuk berbuat kebaikan maka yang diperbuatnya malah segera menjadi puas dan segera selesai, sebaliknya jika ia diperingatkan untuk segera berhenti dan merasakan cukup ia justru semakin serakah ingin melakukannya berlebih. Diminta untuk terus berbuat baik, belajar dan bekerja – ia malah mogok, tapi diingatkan untuk tidak merusak lingkungan dan perilaku sejenisnya – ia malah semakin bersemangat melakukannya. Bahkan ia berdalih pembenaran tindakannya dengan berlindung pada ucapan luhur “jangan pernah berpuas diri” itu.

Sebenarnya, adakah rasa cukup itu?

Ya....... kalau kita bijak menyadari bersama, tentu saja ada batas rasa cukup itu. Tubuh manusia sebagai karya mulia Sang Pencipta, sesungguhnya juga mempunyai alarm untuk membuktikan bahwa rasa cukup itu sesungguhnya ada. Misalnya, mengingat bahwa makan yang berlebihan akan sangat berbahaya, maka tubuh akan memberikan peringatan “cukup dan berhentilah makan” dengan menampilkan rasa kenyang. Demikian juga karena tidur berlebihan itu tidak baik, maka tubuhpun memiliki alarm yang berkata “ayo bangun”. Memang kedua contoh alarm peringatan itu dapat saja menjadi mati tidak berfungsi seperti rem yang blong – jika orang tersebut sakit, khususnya sakit jiwa.

Adakalanya kita memang harus bersikap pantang berkata cukup, namun ada waktunya juga dengan bijak kita seharusnya berkata “enough is enough”. Suatu kata bijak yang layak direnungkan pernah disampaikan oleh mendiang Mahatma Gandhi katanya, “Dunia dan seisinya ini sesungguhnya cukup untuk memberi makan seluruh umat manusia penghuninya, tapi tidak akan pernah cukup untuk memberi makan beberapa orang saja yang serakah”.

Bukankah kita tidak ingin disebut berperilaku sakit jiwa dengan mengabaikan alarm hati nurani pemberianNYA?

Sumber gambar: www.mapala.net/archives/514

Tidak ada komentar:

Posting Komentar